Friday, May 27, 2016

Resensi Film: Zootopia

Sejak kecil, Judy Hoops bermimpi ingin menjadi polisi. Ia ingin mengubah dunia jadi lebih baik. Namun mimpinya menjadi bahan tertawaan anak-anak lainnya, bahkan pernah diolok-olok oleh seekor rubah nakal dan gerombolannya. Selain karena bertubuh kecil, kelinci yang berada hampir di urutan ujung rantai makanan tidak mungkin menjadi polisi, ia akan kalah oleh penjahat-penjahat yang biasanya adalah hewan pemangsa. Orang tua Judy pun meragukan cita-cita anaknya tersebut, dan menyarankan agar Judy mengikuti jejak mereka menjadi petani wortel saja.


Hingga dewasa, Judy tetap kukuh pada mimpinya: menjadi polisi. Ia mendaftarkan diri ke akademi polisi. Selama pendidikan dan pelatihan, ia diremehkan oleh pelatihnya karena sering gagal dalam latihan misi. Judy tidak patah arang, dia tetap berusaha memutar otak mencari jalan sukses dengan caranya sendiri. Hingga pada akhirnya ia dinobatkan sebagai akademia dengan nilai tertinggi pada hari kelulusannya dan mendapatkan lencana penghargaan dari Mayor Lionheart. Judy ditempatkan di kepolisian kota metropolitan: Zootopia.

Tibalah saat keberangkatan Judy ke Zootopia. Ia diantar oleh keluarga dan seluruh kelinci di desa. Judy membawa Fox Repellent yang diberikan ayahnya sebagai pelindung jika ia diganggu oleh rubah, mengingat ia punya sedikit trauma sebelumnya. Perjalanan Judy menaiki kereta api melewati berbagai area -- gurun, hujan, salju -- hingga sampailah ia di Zootopia.

Zootopia adalah kota besar yang dihuni oleh sangat banyak spesies hewan. Siapa saja bisa menjadi apa saja -- itulah semboyan Zootopia.

Tibalah hari pertama Judy bekerja di kepolisian. Semua yang ada di kepolisian tercengang karena Judy adalah kelinci pertama yang menjadi polisi. Chief Bogo, kepala kepolisian, masih tidak percaya dengan kemampuan Judy dan hanya menempatkan ia di tugas kontrol parkir. Judy sedikit kecewa dengan tugas yang diberikan kepadanya, namun ia tetap menjalankannya dengan baik.

Saat bertugas, Judy melihat ada seekor rubah yang masuk ke toko es krim. Judy curiga dan mengikutinya. Ternyata rubah itu hanya ingin membelikan es krim untuk anaknya yang sedang berulang tahun. Judy terenyuh, namun gajah pemilik toko es krim tidak mau melayaninya karena ia adalah seekor rubah. Selama ini rubah terkenal dengan kelicikannya. Judy berusaha meyakinkan pemilik toko es krim dan pada akhirnya berhasil. Tak disangka, rubah yang mengaku bernama Nick Wilde itu malah mengemas ulang es krim yang didapatkannya dan menjual kembali dengan keuntungan yang lebih besar. Judy kesal dan merasa tertipu.

Hari kedua bekerja, Judy tetap mengontrol parkir di seluruh kota. Saat semangatnya luntur, tiba-tiba ada kejadian yang membuat ia merasakan menjadi polisi yang sesungguhnya. Seekor musang membobol sebuah toko permen. Judy mengejarnya habis-habisan hingga tiba di kota tikus. Kejar-kejaran mereka membuat kota tikus cukup kacau hingga sebuah monumen berbentuk donat menggelinding dan hampir mencelakai penduduk kota tikus. Untungnya Judy berhasil mengamankan situasi -- mengamankan monumen donat tersebut sekaligus mengamankan si musang pencuri.


Sambutan Chief Bogo jauh dari harapan. Judy malah dimarahi dan hampir dipecat karena tidak bertugas sesuai bidang penugasannya. Tiba-tiba seekor berang-berang masuk ke dalam ruangan Chief Bogo. Clawhauser, resepsionis kepolisian, gagal mencegahnya. Berang-berang itu meminta tolong agar polisi mencari suaminya yang hilang. Chief Bogo menolak permintaan ibu itu dengan alasan seluruh petugas kepolisian sedang ditugaskan menangani kasus besar. Tiba-tiba Judy menawarkan diri. Kebetulan saat itu Bellwether, sekretaris Mayor Lionheart, lewat dan langsung antusias mendengarkan bahwa Judy akan ditugaskan menangani sebuah kasus. Ia langsung mengabari Mayor Lionheart. Chief Bogo tidak punya pilihan lain selain mengijinkan Judy menangani kasus ibu berang-berang tersebut, namun ia memberikan syarat yang cukup sulit kepada Judy: Kasus itu harus terpecahkan dalam kurun waktu 48 jam atau Judy akan dianggap gagal dan dipecat.

Bagaimana Judy memulai menangani kasus yang didapatkannya dengan informasi yang sangat minim? Berhasilkah ia memecahkan kasus tersebut dalam batas waktu yang ditentukan? Mengapa pada akhirnya ia bekerja sama dengan Nick si penipu? Begitu banyak hal-hal mengejutkan yang ditemui Judy.

Walaupun dengan kemasan animasi, Zootopia menawarkan sebuah cerita yang berkualitas. Alur ceritanya tak tertebak dan mengecoh, dibumbui dengan jokes yang tepat pada waktunya. Banyak pesan moral yang bisa dipetik dari cerita ini. Karakter-karakter hewan di dalam film ini secara tersirat mewakili watak manusia. Ada satu-dua sindiran halus terhadap fenomena yang umum terjadi di lingkungan sosial. Zootopia cocok ditonton bersama keluarga, dan aman untuk dipertontonkan kepada anak-anak.

****

Genre: Animation, Action, Comedy
Director: Byron Howard, Rich Moore, Jared Bush
Production Company: Walt Disney
Released: February 17th 2016

Wednesday, May 25, 2016

Resensi Buku: Cerpen Pilihan Kompas 2014

Judul: Cerpen Pilihan Kompas 2014
Penulis: Penulis Terpilih Kompas 2014
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Tahun Terbit: 2015
Dimensi: xvi + 200 halaman, 21 cm
ISBN: 978-979-709-949-7



Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon adalah judul cerpen yang terpilih untuk mewakili Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 bersama 23 cerpen terpilih lainnya yang juga dimuat dalam kumpulan ini. Cerpen yang dipilih para juri ini adalah karya Faisal Oddang, seorang pengarang muda dari Makassar yang aktif menjadi penggerak komunitas penulis Lego-Lego dan Malam Puisi Makassar. Suatu hal yang membanggakan karena Faisal bersanding dengan penulis-penulis senior lainnya, di antaranya Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan nama lainnya yang telah akrab di dunia kepenulisan.

Hampir semua cerpen yang ada dalam antologi ini dapat dijadikan favorit, menciptakan dialog sendiri di kepala, dan ada pula yang membuat hati tergetar saat membaca kemudian tercenung untuk beberapa saat.

Lagi-lagi mengusung tema cinta, Joyeux Anniversaire (Selamat Ulang Tahun) karya Tenni Purwanti begitu menggetarkan. Cerpen Tenni menunjukkan efek destruktif dari cinta, namun tetap saja indah dan tak dapat dielak.

Jalan Sunyi Kota Mati (Radhar Panca Dahana) dan Matinya Seorang Demonstran (Agus Noor) membuat gemas dengan caranya masing-masing mengolah fenomena terkait opini publik.

Menunda-nunda Mati (Gde Aryantha Soethama), Bulu Bariyaban (Zaidinoor), Bukit Cahaya (Yanusa Nugroho) dan Beras Genggam (Gus TF Sakai) mengajak kita 'berwisata' ke dalam nuansa budaya yang berbeda-beda, lengkap dengan petuah, pesan alam dan kisah magisnya.

Kaing-kaing Anjing Terlilit Jaring (Parakitri T. Simbolon) dan Jalan Asu (Joko Pinurbo) mengajak kita berpikir dan merenung. Sesungguhnya setiap hal sederhana yang terjadi, cepat atau lambat, dapat kita petik maknanya untuk melengkapi kearifan hidup.

Kerinduan kepada Sapardi Djoko Damono dijawabnya dengan Lima Cerpen super singkat dan segar, yang menceritakan kematian secara terang dan tersirat.

Sejak pemilihan diselenggarakan tahun 1992, 24 cerpen adalah jumlah terbanyak yang pernah dimuat dalam sebuah buku antologi Cerpen Pilihan Kompas. Mengutip pernyataan Putu Fajar Arcana, "Cerpen-cerpen dalam buku ini mewakili tiga generasi cerpenis Indonesia. Dari mereka kita bisa merunut pertumbuhan cerpen-cerpen Indonesia setidaknya dalam empat dekade terakhir. Kita juga bisa melacak jejak-jejak sosial dan kultural, yang begitu terasa dalam karya-karya mereka."

****

Saturday, May 21, 2016

Resensi Buku: Protokol Hujan

Judul: Protokol Hujan
Penulis: Arco Transep
Penerbit: Indie Book Corner
Tahun Terbit: 2016
Genre: Kumpulan Puisi
Dimensi: 100 halaman, 19,5 cm
ISBN: 968-602-3091-41-3






Setelah bertahun-tahun menggeluti dunia kepenulisan, akhirnya Arco Transep hadir dengan kumpulan puisi pertamanya, Protokol Hujan. Protokol hujan adalah kumpulan puisi Arco dalam rentang waktu 2009 hingga 2015, setelah sebelumnya banyak karyanya yang dimuat berbagai media cetak secara terpisah.

Arco adalah orang yang peka dan berhasil menggambarkan segala rasanya melalui kata. Arco cerdas memilih kata, sederhana dan mengena. Seperti teriakan hati yang secara teratur keluar satu per satu minta dibaca, dan ya, terbaca. Sangat jelas. Puisi-puisi Arco menggambarkan perpisahan, kenangan, kehilangan, dan kepulangan. Saat membaca puisi-puisi Arco, saya kadang terhenti dan membaca ulang lagi dari awal karena ingin meresapi perasaan yang tiba-tiba datang di tengah maupun akhir puisinya.


Suatu hari aku ingin pergi ke gunung-gunung yang pasrah menerima lelah.
Mungkin ke hutan-hutan yang membuat tenang.
Atau mungkin ke pantai-pantai yang tak menolak dideru air-air asin yang dibawa lautan.

Suatu hari aku ingin pergi, tanpa meninggalkan jejak raut di ingatanmu.
Mungkin air mata yang membuatmu menyesali kehilangan kehilangan berkali-kali.
Atau mungkin diam-diam beranjak sebelum kau berharap pagi dan aku tetap di sampingmu.

Suatu hari aku ingin kita pergi tanpa sepatah kata, tanpa puisi yang akan kau baca saat sunyi, juga tanpa nyeri yang membuat matamu perih dan masuk angin.
Sebab, suatu hari kita akan berpapasan dan takkan saling mengenali.

Jejak Kepulangan - Arco Transep

Endorsement:
Dalam puisi-puisi di buku ini, kita bisa melihat Arco seolah selalu sensitif dengan segala hal. Apa yang ia lihat, ia rasakan, semuanya ia jahit dalam kata-katanya. Arco seolah memiliki indra yang peka. Ia merasakan desir angin, membaca berita cuaca, memendam dan menyatukannya dengan apa yang ia rasakan, lalu menulisnya dengan hati-hati sebagai puisi. Kalimat-kalimatnya sederhana dan lugas, ia tak kewalahan dengan beban bahasa. Rasanya semua bekal sensitifitas itu sudah cukup sebaga bekalnya berjalan di jalan kepenyairan.
~ Irwan Bajang, Penulis Buku Puisi Kepulangan Kelima.

Puisi selalu dibentuk dari perhatian. Dan perhatian memerlukan kepekaan yang cukup untuk dapat melihat kebanyakan yang luput dilihat. Kepekaan itu pun harus dibarengi dengan keterampilan bahasa yang butuh terus diasah, bak sebuah pisau, lebih tajam lebih dapat menusuk hingga ke dalam. Harko memiliki kepekaan itu dan dalam kumpulan puisi ini, kita dapat melihat cara Harko mengasah pisaunya.
~ Pringadi Abdi Surya, Penyair dan Penulis Novel 4 Musim Cinta.

Seperti memaknai tujuan perjalanan, membaca "Protokol Hujan", ada yang menancapkan mantra dalam-dalam ke liang ingatan; bahwa kilometer adalah nol, namun seakan ada pula yang mengulurkan tangan, hendak mengajak kembali bertamasya ke masa lampau. Harko Transep tahu betul cara menuliskan jejak hati di setiap halaman bukunya. Selamat merayakan kepulangan, kumpulan puisi yang menyenangkan!
~ Delbin Clyte, Novelis dan Penulis Skenario.

Ada puisi yang lancar dituliskan, namun ada juga pengalaman batin yang sukar diungkapkan. Demikianlah penyair belajar dan terus belajar untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Hingga puisi sampai kepadamu.
~ Nanang Suryadi, Penyair dan Dosen Universitas Brawijaya.

***

Setelah pertama kalinya launching di Jogja bersama Indie Book Corner dalam "Bincang Buku & Baca Puisi Protokol Hujan" pada 6 Mei lalu, kini giliran Palembang yang akan menyambut dalam "Malam Puisi Protokol Hujan". Malam ini.


Malam Puisi Palembang ke-31 akan hadir

.
"PROTOKOL HUJAN"

Peluncuran, Pembacaan dan Bedah buku puisi milik Arco Transept

Sabtu, 21 Mei 2016
19.00
Di Gowes Chat And Fun


Datang, Dengar dan Bacakan Puisimu!
Sampai bertemu.




Friday, May 20, 2016

Resensi Buku: Filosofi Kopi

Judul: Filosofi Kopi
Penulis: Dee Lestari
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2012
Genre: Kumpulan Cerita
Dimensi: xiv + 142 halaman, 20 cm
ISBN: 978-602-8811-61-3



Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade yang terangkum dalam Filosofi Kopi merupakan kompilasi karya Dewi (Dee) Lestari selama 1995 -  2005. Buku ini merupakan salah satu masterpiece dalam kesusastraan Indonesia dan telah mengalami tujuh belas kali cetakan hingga Januari 2016.

Filosofi Kopi, cerita pendek yang menjadi pembuka sekaligus menjadi judul kompilasi ini menceritakan tentang seorang yang tergila-gila kepada kopi: Ben. Ben telah berkeliling dunia demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri, juga mencari takaran paling pas untuk racikan setiap jenis kopi. Dia tidak hanya meramu dan mengecap rasa kopi, akan tetapi juga merenungkannya. Ia menarik arti, membuat analogi, hingga tercipta satu filosofi untuk setiap jenis kopi. Semuanya ia presentasikan semenarik mungkin di dalam daftar menu kafenya; Filosofi Kopi.

Pada suatu hari, Ben ditantang oleh seorang pengunjung Filosofi Kopi yang merasa tidak menemukan kopi yang ia inginkan di dalam daftar menu. Apakah Ben berhasil menjawab tantangan tersebut? Dan bagaimana Ben menanggapi seseorang yang mencicipi kopinya dan hanya menilai kopinya 'lumayan' bukannya 'luar biasa' padahal ia sudah sedemikian rupa menakar dan meracik kopinya?

"Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya."


Pencarian Ben menemukan kesempurnaan yang akhirnya dijawab dengan kesederhanaan memutarbalikkan dunia Ben yang penuh dengan obsesi akan kopi.

Tujuh belas cerpen dan prosa lain di dalam buku ini tidak kalah menariknya. Menyentuh pembaca di momen yang tepat dan membuat tersenyum dan terpesona pada kata-kata yang dengan cerdas berada pada tempatnya. Dee menyajikan tulisan cerkas bagi pembaca. Penyajiannya lugas, tegas, tidak ruwet dan tidak mendayu-dayu.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.

Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.

Spasi - Dee Lestari

****

Thursday, May 19, 2016

Resensi Buku: Warna Air

Judul: Warna Air (2)
Penulis: Kim Dong Hwa
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
Genre: Novel Grafis Dewasa
Dimensi: 320 halaman, 24 cm
ISBN: 978-979-22-5988-9



Warna Air adalah buku kedua dari Trilogi Warna (The Color Trilogy), set novel grafis goresan Kim Dong Hwa. Novel yang memiliki judul asli The Story Of Life On The Golden Fields Vol. 2 ini pertama terbit di Korea tahun 2003.


"Pastikan waktu berjalan kau menundukkan kepala, dan berjalanlah dengan ringan dan lembut sambil memandang sepatumu. Kalau kau ingin mendongak, angkat saja matamu tapi jangan kepalamu. Seorang wanita tampak sangat cantik dalam postur tersebut."

Warna Air bercerita tentang seorang gadis bernama Ehwa yang mulai beranjak dewasa. Ehwa mulai mengenal rasa cinta dengan pemahaman yang lebih dalam, bukan lagi sekedar cinta monyet yang sebelum-sebelumnya telah dirasakan oleh Ehwa.
Ehwa berkenalan dengan Duksam, pemuda dari desa sebelah yang saat festival memenangkan pertandingan gulat. Duksam adalah seorang pemuda yang sangat berterus terang, dia terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya kepada Ehwa. Ehwa menanggapinya dengan baik, dengan masih tetap menjaga batas-batas seorang wanita.

Perasaan saling menyukai antar mereka membuat kepercayaan diri Ehwa bermekaran. Ehwa mulai mengerti perasaan Ibunya yang terkadang duduk memandang ke pintu gerbang seolah-olah mencari langkah seseorang, yang tanpa sadar juga dilakukannya saat merindukan Duksam.

Ehwa yang tinggal berdua saja dengan ibunya dan terbiasa berbagi segala cerita kali ini mulai sedikit berahasia. Ibu Ehwa tahu bahwa sudah saatnya ia memberikan pesan dan nasihat yang cukup sebagai bekal bagi anak gadisnya yang beranjak dewasa.

"Tidak semua bunga sama.
Ada bunga-bunga tidak sabaran yang mekar pada bulan Maret,
Dan ada yang mekar pada bulan April hanya setelah mereka memperhatikan bunga-bunga lain mekar lebih dulu.
Akhirnya, ada bunga-bunga yang mekar pada waktu yang tepat di bulan Mei.
Bunga-bunga terakhir ini warnanya paling memukau, dan bentuk mereka indah serta bersih,
Mirip mempelai wanita.

Tidak seperti bunga, manusia menilai tinggi diri mereka dan menghabiskan waktu dengan meributkan siapa yang lebih dulu. Mereka berusaha keras menjadi yang pertama mekar, meskipun mereka belum siap."

Perbincangan antara Ehwa dan ibunya adalah bagian terbaik di dalam buku ini. Tentang bagaimana merekah mendewasanya seorang wanita, hingga petuah untuk wanita yang diperistri dan hidup bersama keluarga suaminya.

Kim Dong Hwa menyajikan kisah memikat tentang kedekatan seorang anak perempuan dan ibunya dengan gaya bercerita yang puitis. Kata-kata puitisnya dapat menjadi inspirasi dalam proses kreatif menulis. Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya merupakan mutiara kehidupan dari ibundanya saat berusia enam belas tahun. Dari buku ini dapat dipetik banyak pesan tentang bagaimana seorang wanita bersikap menghadapi kehidupan.

Cerita cinta dan kehidupan ini juga dilengkapi dengan latar belakang alam pedesaan Korea yang dilukiskan dengan indah serta terselip juga tips kecantikan tradisional Korea.

Saya tertarik untuk melengkapi Trilogi Warna ini dengan Warna Tanah (1) dan Warna Langit (3).


***

Tuesday, May 17, 2016

Resensi Buku: Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu Itu Peluru
Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Dimensi: 160 halaman, 20 cm
ISBN: 978-979-22-6868-3


Cemburu Itu Peluru berisi 97 flash fictions dari lima penulis yang memiliki karakter penulisan berbeda-beda. Flash fictions atau cerita-cerita super pendek ini benihnya berasal dari gagasan-gagasan sepanjang 140 karakter di media sosial twitter yang diwadahi oleh komunitas Fiksi Mini. Buku ini dilengkapi dengan DVD yang berisi 9 film pendek (Film Mini) yang juga dikembangkan dari Fiksi Mini. 

Erdian Aji dominan bereksperimen dengan tipografi. Kreatifitasnya dalam mengolah susunan kata, membuat pembaca merasa harus mengulang baca dari awal karena maksud dari tulisan-tulisannya kebanyakan baru ketahuan pada akhir cerita. Pengakuan Seorang Pengecut dikemas dengan sangat brilian dan, ya, membuat saya tersenyum-senyum saat berulangkali membacanya. Juga, saya cukup tergugah saat membaca Inikah yang Namanya Cinta?

Yang paling saya sukai, tulisan-tulisan Oddie Frente, bercerita tentang realita dan kehidupan sosial, satu-dua diselingi oleh cerita imajinatif. Penuturannya dalam cerita sangat apik, begitu mengalir dan membuat pembaca menikmati seluruh alur. Dim Sum Singkong Rebus, Dua Stoples yang Saling Cemburu, dan Lelaki yang Memanggilku Papa adalah cerita-cerita favorit saya.

Tulisan-tulisan Andy Tantono, Kika Dhersy Putri, dan Novita Poerwanto merupakan pelangi yang mengajak kita ke dunia imajinasi paling terang hingga yang paling kelam. Mulai dari hal-hal logis, hingga hal-hal yang mengusik logika. Anemia, Sundae, Pak Nugroho, dan Sehari Saja adalah cerita-cerita yang menarik perhatian saya.

Sedikit kritik, pada beberapa cerita, twist yang diberikan sebagai kejutan bagi pembaca disajikan dengan tema yang sama, yaitu darah, kematian, dan kriminalitas. Ada twist yang pas porsinya dengan alur, namun juga ada yang terasa diakhiri paksa mungkin karena ceritanya di-set super pendek -- yang harus segera disudahi sebelum pembaca sempat menebak-nebak.

Namun secara keseluruhan dapat dikatakan buku ini cocok untuk pembaca yang mencari kejutan-kejutan imajinasi dalam bacaannya.
**

Thursday, May 12, 2016

Resensi Film: Delivery Man

Bagaimana rasanya menjadi ayah biologis bagi ratusan anak? Hal itulah yang dirasakan oleh David Wozniak, seorang supir truk daging yang sedang terlilit utang dalam jumlah cukup besar dan pontang panting mencari uang untuk melunasinya.



Di saat ia sedang bergembira setelah mendapat kabar bahwa kekasihnya Emma sedang mengandung anaknya, di saat itu pula ia mendapat kejutan bahwa ia sedang dicari oleh ratusan anaknya. Hey, apa maksudnya ini? Kenapa hal ini bisa terjadi?

Brett, sahabat David, bersedia menjadi pengacara untuk kasus yang sedang dihadapinya. Dari Brett, David mendapatkan profil anak-anak yang sedang mencarinya.

Apa yang akan dilakukan oleh David dengan profil-profil yang didapatkannya tersebut? Apakah ia berusaha bersembunyi atau malah menemui mereka semua? Apa yang akan diusahakan David untuk melunasi utangnya yang kian lama kian membengkak? Bagaimana hubungan David dengan Emma dan calon bayinya?

Semuanya dikemas dalam sebuah cerita yang apik dan berhasil menyajikan konflik tanpa harus menghadirkan pemeran antagonis. Alurnya tersusun dengan rapi dan mengalir, dan kita dapat ikut merasakan pergolakan batin yang dialami oleh David.

Kita diajarkan untuk berani mengambil keputusan dengan mendengarkan hati nurani dan memegang teguh keputusan yang telah diambil.

Percayalah bahwa hadiah terbesar yang diberikan kepada seseorang adalah dengan memberikannya kebahagiaan di saat yang tepat, sekecil apapun itu.

Starring: Vince Vaughn, Chris Pratt, Cobie Smulders
Genre: Drama Comedy
Director: Ken Scott
Production Company: DreamWorks, Reliance Entertainment, Touchstone Pictures
Released: 2013

Resensi Film: Daddy's Home

Daddy's Home bercerita tentang Brad Whitaker, seorang eksekutif sukses dan santun yang menikah dengan Sara, seorang wanita cantik yang memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya; Dylan dan Megan. Praktisnya, Brad adalah ayah tiri dari Dylan dan Megan.



Brad sepenuh hati berusaha menjadi ayah tiri yang baik bagi Dylan dan Megan. Meskipun pada awalnya mengalami banyak penolakan, usaha Brad yang tanpa henti ternyata membuahkan hasil; ia sedikit demi sedikit mulai mendapatkan perhatian anak-anaknya. Namun hal menyenangkan itu tidak berlangsung lama karena Dusty Mayron, mantan suami Sara, kembali dan berencana tinggal bersama mereka.


Hari-hari berikutnya menjadi arena persaingan bagi Brad dan Dusty. Brad berusaha menunjukkan bahwa dirinya adalah yang terbaik malah terlihat konyol, serta Dusty yang berusaha mendapatkan kembali posisinya di keluarga malah memancing hal-hal kocak.

Sepanjang ceritanya, film ini mengajak kita tertawa, kemudian sedikit kesal, hingga membuat kita geleng-geleng kepala dan tertawa kesal. Film ini cocok ditonton untuk refreshing. Keseluruhan film cukup baik, dan membuat perasaan senang setelah menontonnya.

Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari film ini, salah satunya:
"Cobalah bersahabat dengan sesuatu yang tidak kita sukai, maka keadaan yang kita rasa buruk dengan sendirinya akan membaik."


Starring: Will Ferrel, Mark Wahlberg, Linda Cardellini, Scarlett Estevez, Owen Vaccaro
Genre: Drama Comedy
Director: Sean Anders
Production Company: Paramount Pictures, Red Granite Pictures, Gary Sanchez Productions
Released: December 2015