Tuesday, June 7, 2016

Resensi Buku: Cerpen Pilihan Kompas 2013

Judul: Cerpen Pilihan Kompas 2013
Penulis: Penulis Terpilih Kompas 2013
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Tahun Terbit: 2014
Dimensi: xx + 248 halaman, 21 cm
ISBN: 978-979-709-838-4


Tahun 2014 lalu akhirnya dirangkum cerpen-cerpen terpilih dari seluruh cerpen yang terbit di Kompas sepanjang tahun 2013. Sebanyak 23 cerpen terpilih ini mewakili empat analogi peran bahasa. Menurut Bambang Sugiharto, Guru Besar Estetika Universitas Parahyangan Bandung, bahasa dapat berperan sebagai semacam kuda, sejenis mata bor, sebuah kamera dan sebagai kemungkinan terbuka yang dapat mewujud menjadi apa saja.


1
~~~
Jika bahasa adalah kuda, maka cerpen menungganginya dan membimbing kita ke berbagai ranah asing; ranah yang mungkin tak pernah terlihat di peta, namun sebenarnya berada di sekeliling. Banyak cerpen di buku ini membawa kita antara lain ke ranah mitos, memasuki aura mistiknya, dan memain-mainkan logika surealisnya.
~~~

Cerpen "Trilogi" dari A. Muttaqin mengantar kita ke sebuah kota yang memiliki sumur misterius, sumur jelmaan kemaluan, yang mengeluarkan burung iblis dan sepuluh malaikat.

"Bulan Biru" karya Gus tf Sakai membawa kita ke sebuah dunia tempat binatang bisa berbicara seperti manusia. Ada apercakapan antara kura-kura, bebek dan gadis kecil di bawah bulan biru, "saat waktu terlipat, saat ujung bertemu ujung": percakapan tentang peran bangunan-bangunan monumental dalam kekuasaan otokrasi, yang dibuat untuk mengelabui rakyat.

Cerita "Ulat Bulu dan Syekh Daun Jati" karya Agus Noor menyeret kita ke sebuah hutan jati di kampung Jatilawang untuk menyaksikan perang tanding antara seorang sakti bersorban --yang melayang di atas daun-- dengan pimpinan ulat bulu, ulat jelmaan kebencian korban pembantaian yang menuntut keadilan. Di sini kita diingatkan kembali pada trauma sejarah yang sering dianggap berlalu bersama waktu.

Dewi Utari dengan "Pada Jam 3 Dini Hari" mengajak kita ke sebuah gazebo di belakang rumah. Di sana kita melihat pertemuan seorang pelukis dengan perempuan misterius setiap jam 3 dini hari. Perempuan itu berhasil membangkitkan inspirasi sang pelukis dengan cerita-cerita mistisnya.

Kita menuju ke Jakarta bersama F Rahardi dan cerpennya "Amin". Kita diturunkan di depan Istana Merdeka, di sana ada seorang aneh yang sepanjang hari bersila dengan tangan sedekap menatap lurus ke istana. Setiap pertanyaan, komentar atau reaksi apa pun dari orang sekeliling, dijawabnya dengan satu kata: "Amin". Sikap yang aneh tersebut menimbulkan kecurigaan dan kemarahan tentara sehingga dia diusir dengan berbagai cara sampai diberondong senapan mesin dari sebuah tank, namun ia tetap tak terusik. Massa lantas mengelu-elukannya. Sebuah parodi tajam atas sikap paranoid aparat sekaligus atas kekonyolan pola pikir mistis para masyarakat.


2
~~~
Jika bahasa adalah mata bor, maka cerpen menggunakannya untuk menembus permukaan pengalaman keseharian, mengintip lapisan-lapisannya yang lebih dalam, menelisik aneka misteri dan ambiguitas batinnya yang paling tersembunyi. Beberapa cerpen di buku ini seperti lubang-lubang intip kecil ke arah realitas yang kerap terselubung.
~~~

Cerpen "Serigala di Kelas Almira " tulisan Triyanto Triwikromo memungkinkan kita mengintip ceruk-ceruk dunia mental anak-anak berkebutuhan khusus, yang kerap tak lazim, pelik dan mendebarkan.

Cerpen "Saia" karya Djenar Maesa Ayu, mengajak kita menyelami keterpecahan mental seorang anak yang hidup dalam ambivalensi sikap kedua orang tuanya: kasih sayang penuh kekerasan.

"Rumah Tuhan" dari AK Basuki membuat kita meneropong keunikan sikap batin seorang ibu melalui kacamata seorang anak. Ibu yang telah puas dengan kebahagiaannya sendiri, lantas menganggap derita dan sakit orang lain menjadi miliknya juga. Maka kegiatan utamanya adalah mengunjungi orang-orang sakit, yang diyakininya sebagai 'rumah Tuhan'. Keyakinan ini tetap konsisten bahkan ketika yang sakit dan harus dikunjunginya adalah mantan suaminya yang telah berkhianat. Sebuah misteri kematangan batin manusia yang bisa tak terduga.

Sudut pandang ruh anak-anak digunakan pada cerita "Malam Hujan Bulan Desember" dari Guntur Alam. Di sana kita melihat misteri batin seorang ayah yang kendati membunuh istri dan anaknya, matanya berkaca-kaca setelah melakukannya.

Sungging Raga dengan "Alesia" bercerita tentang perasaan seorang anak yang mengorbankan diri demi kesembuhan ibunya.

Persepsi mental yang unik kita dapati pada cerpen Arswendo Atmowiloto, "Nenek Grendi Punya HP, tapi Berharap Sungai". Di sini kita menemukan persepsi seorang nenek yang ganjil atas realitas. Di antara banyak keganjilan itu yang paling aneh adalah ketika ia bercita-cita membeli sungai, dan alasannya sederhana, "karena sungai mengalir".

Putu Wijaya dengan karyanya "Eyang" membuka mata kita atas ambiguitas sikap mental manusia dalam hubungan-hubungan sosialnya. Seseorang yang sedang bokek berat dititipi orang tua (Eyang) oleh si bos yang hendak pergi liburan. Eyang yang dikira akan menjadi beban ternyata justru menjadi berkah yang menghidupkan.

Paradoks-paradoks sikap manusia memang bisa membingungkan. Hal itu tampak pada karya Jujur Prananto, "Piutang-piutang Menjelang Ajal". Chaerul berutang besar pada pamannya, namun ketika pamannya menghapuskan utangnya, ia malah kena stroke.


3
~~~
Jika bahasa adalah kamera, maka cerpen menggunakannya untuk menangkap impresi sekelebat yang mengisyaratkan berbagai kemungkinan makna; membuat snapshot yang mengubah suasana menjadi tanda.
~~~

Cerpen "Kota Tanpa Kata dan Air Mata" dari Noviana Kusumawardhani memotret kota, menangkap kenyataan bahwa di balik hiruk-pikuk suasana mal, jalanan, bus kota, kafe atau stasiun itu, ternyata ada kesunyian mendasar. Kesunyian karena seluruh kota telah dirajai teks, orang-orang dibelenggu teks (sms, sosial media dan surat-surat elektronik pada gadget mereka). Teks telah memenjarakan manusia di dunianya masing-masing.

Budi Darma lewat karyanya "Percakapan" memberikan snapshot tentang pertemuan dia orang di sebuah kedai kopi. Awalnya mereka terkesan tidak saling kenal, namun perlahan-lahan percakapan mereka menunjukkan bahwa antara keduanya pernah terjadi peristiwa besar yang mengubah hidup masing-masing dan menyisakan dendam berkelanjutan.

"Pengacara Pikun" karya Gerson Poyk dan beberapa cerpen lain di buku ini seperti "Serpihan di Teras Rumah" dari Zaidinoor, "Sumpah Serapah Bangsawan" dari Gde Aryantha Soethama, dengan cara masing-masing adalah juga berbagai jepretan yang menyiratkan persoalan lebih besar di balik kesan permukaan.

4
~~~
Jika bahasa adalah kemungkinan, maka cerpen memberinya wujud, membuatnya menjadi apa saja, sesuai kecakapan penulisnya.
~~~

Cerpen menjadi cermin yang memantulkan wajah interior buruk seorang pembunuh misterius pada cerpen "Aku, Pembunuh Munir" karya Seno Gumira Ajidarma, salah satu cerpen paling kreatif di buku ini. Isi cerpen ini perpaduan menarik antara kejelian menggunakan data, penelusuran logika ala detektif, dan sarkasme yang tajam. Bentuknya berupa monolog pengakuan diri. Strukturnya eksperimental, alur cerita disisipi kutipan percakapan konyol dari proses pengadilan, juga diselipi puisi penguat suasana dan emosi.

Pada karya Joko Pinurbo, "Laki-laki Tanpa Celana", kata-kata dan kenyataan saling berkelindan. Puisi berinkarnasi menjadi peristiwa. Peristiwa menguap menjadi imajinasi. Cerpen ini mengembalikan daya magis pada bahasa, pada kata-kata.

Keterampilan mengubah bahasa menjadi garis-garis sketsa impresionis yang ringkas dan bernas tampil paling mempesona pada cerpen "Klub Solidaritas Suami Hilang" dari Intan Pramaditha. Dengan serba singkat dan efisien, namun tanpa kehilangan plastisitas, cerpen ini melukiskan keunikan dan kompleksitas hubungan-hubungan pernikahan yang mendadak patah secara tak terduga. Metafor-metafornya segar, kadang mengejutkan. seolah sambil lalu tanpa banyak pretensi, cerpen ini menyibak aneka kebusukan, kepahitan, dan misteri hubungan antarmanusia, secara jeli, mendalam, dan menikam. Segala keterampilan yang dituntut untuk mencipta sebuah cerita pendek yang bagus ternyata berkulminasi pada cerpen ini.

***

Sebagai catatan, ulasan tentang buku ini merupakan kutipan dari Epilog "Catatan Pendek Atas Cerita-Cerita Pendek" yang ditulis oleh Bambang Sugiharto, Guru Besar Estetika Universitas Parahyangan Bandung. Saya menganggap bahasan ini merupakan gambaran lengkap dan sangat mewakili kesan saya setelah membaca Kumpulan Cerpen Kompas 2013.

Saturday, June 4, 2016

Resensi Buku: Hujan Bulan Juni (Novel)

Judul: Hujan Bulan Juni (Novel)
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Juni 2015
Genre: Novel / Sastra
Dimensi: 135 halaman, 20 cm
ISBN: 978-602-03-1843-1


Sarwono percaya bahwa manusia yang sama-sama masih hidup bisa berkomunikasi tanpa harus bertemu muka. Inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Puisi itu komunikasi, dan komunikasi itu shaman. Shaman itu medium. Maka puisi itu shaman. Ia yakin puisinya yang dimuat di koran dapat menghubungkannya dengan seorang perempuan yang nun jauh di sana, Pingkan.

Dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film. Kini Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono beralih warna menjadi novel. 

Ulasan tentang novel Hujan Bulan Juni menjadi pembuka di Juni 2016 ini. Sebenarnya sudah sejak tahun lalu saya selesai membaca novel Hujan Bulan Juni, saat cetakan pertama novel ini terbit -- entah sekarang sudah cetakan keberapa.

Sapardi kembali mengangkat tema tentang cinta, yang kali ini lebih spesifik menceritakan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan budaya dan agama mewarnai kisah di dalamnya. Bagaimana para tokoh menyiasati kehidupan sosial pun tergambar secara menarik di sini. Pembaca pada akhirnya diyakinkan bahwa perbedaan adalah anugerah, dan tidak ada yang berhak menyeragamkan sesuatu.

Secara keseluruhan, saya dapat katakan bahwa novel ini adalah bacaan saat senggang. Kita harus benar-benar santai dan fokus saat membacanya, karena paparan bahasa di dalam novel ini masih bertutur seperti puisi. Ada makna-makna tersembunyi di dalamnya; yang tidak dapat dipahami sekali lewat saja. Setiap sebuah potongan cerita dibaca ulang, setiap kali itu pula kita tangkap makna berbeda.

Buku ini tidak cocok bagi orang yang mencari cerita muluk dan konflik dramatis, namun sangat cocok bagi orang yang ingin mendalami makna cinta secara logis dan nyata. Tutur sederhana namun menyimpan makna rumit, di sanalah kehebatan Sapardi mengemas kata-kata dalam setiap karyanya. 

****

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun bersusun, saling-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri, oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruang kedap suara bernama kasih sayang.

Bagaimana mungkin.

Friday, May 27, 2016

Resensi Film: Zootopia

Sejak kecil, Judy Hoops bermimpi ingin menjadi polisi. Ia ingin mengubah dunia jadi lebih baik. Namun mimpinya menjadi bahan tertawaan anak-anak lainnya, bahkan pernah diolok-olok oleh seekor rubah nakal dan gerombolannya. Selain karena bertubuh kecil, kelinci yang berada hampir di urutan ujung rantai makanan tidak mungkin menjadi polisi, ia akan kalah oleh penjahat-penjahat yang biasanya adalah hewan pemangsa. Orang tua Judy pun meragukan cita-cita anaknya tersebut, dan menyarankan agar Judy mengikuti jejak mereka menjadi petani wortel saja.


Hingga dewasa, Judy tetap kukuh pada mimpinya: menjadi polisi. Ia mendaftarkan diri ke akademi polisi. Selama pendidikan dan pelatihan, ia diremehkan oleh pelatihnya karena sering gagal dalam latihan misi. Judy tidak patah arang, dia tetap berusaha memutar otak mencari jalan sukses dengan caranya sendiri. Hingga pada akhirnya ia dinobatkan sebagai akademia dengan nilai tertinggi pada hari kelulusannya dan mendapatkan lencana penghargaan dari Mayor Lionheart. Judy ditempatkan di kepolisian kota metropolitan: Zootopia.

Tibalah saat keberangkatan Judy ke Zootopia. Ia diantar oleh keluarga dan seluruh kelinci di desa. Judy membawa Fox Repellent yang diberikan ayahnya sebagai pelindung jika ia diganggu oleh rubah, mengingat ia punya sedikit trauma sebelumnya. Perjalanan Judy menaiki kereta api melewati berbagai area -- gurun, hujan, salju -- hingga sampailah ia di Zootopia.

Zootopia adalah kota besar yang dihuni oleh sangat banyak spesies hewan. Siapa saja bisa menjadi apa saja -- itulah semboyan Zootopia.

Tibalah hari pertama Judy bekerja di kepolisian. Semua yang ada di kepolisian tercengang karena Judy adalah kelinci pertama yang menjadi polisi. Chief Bogo, kepala kepolisian, masih tidak percaya dengan kemampuan Judy dan hanya menempatkan ia di tugas kontrol parkir. Judy sedikit kecewa dengan tugas yang diberikan kepadanya, namun ia tetap menjalankannya dengan baik.

Saat bertugas, Judy melihat ada seekor rubah yang masuk ke toko es krim. Judy curiga dan mengikutinya. Ternyata rubah itu hanya ingin membelikan es krim untuk anaknya yang sedang berulang tahun. Judy terenyuh, namun gajah pemilik toko es krim tidak mau melayaninya karena ia adalah seekor rubah. Selama ini rubah terkenal dengan kelicikannya. Judy berusaha meyakinkan pemilik toko es krim dan pada akhirnya berhasil. Tak disangka, rubah yang mengaku bernama Nick Wilde itu malah mengemas ulang es krim yang didapatkannya dan menjual kembali dengan keuntungan yang lebih besar. Judy kesal dan merasa tertipu.

Hari kedua bekerja, Judy tetap mengontrol parkir di seluruh kota. Saat semangatnya luntur, tiba-tiba ada kejadian yang membuat ia merasakan menjadi polisi yang sesungguhnya. Seekor musang membobol sebuah toko permen. Judy mengejarnya habis-habisan hingga tiba di kota tikus. Kejar-kejaran mereka membuat kota tikus cukup kacau hingga sebuah monumen berbentuk donat menggelinding dan hampir mencelakai penduduk kota tikus. Untungnya Judy berhasil mengamankan situasi -- mengamankan monumen donat tersebut sekaligus mengamankan si musang pencuri.


Sambutan Chief Bogo jauh dari harapan. Judy malah dimarahi dan hampir dipecat karena tidak bertugas sesuai bidang penugasannya. Tiba-tiba seekor berang-berang masuk ke dalam ruangan Chief Bogo. Clawhauser, resepsionis kepolisian, gagal mencegahnya. Berang-berang itu meminta tolong agar polisi mencari suaminya yang hilang. Chief Bogo menolak permintaan ibu itu dengan alasan seluruh petugas kepolisian sedang ditugaskan menangani kasus besar. Tiba-tiba Judy menawarkan diri. Kebetulan saat itu Bellwether, sekretaris Mayor Lionheart, lewat dan langsung antusias mendengarkan bahwa Judy akan ditugaskan menangani sebuah kasus. Ia langsung mengabari Mayor Lionheart. Chief Bogo tidak punya pilihan lain selain mengijinkan Judy menangani kasus ibu berang-berang tersebut, namun ia memberikan syarat yang cukup sulit kepada Judy: Kasus itu harus terpecahkan dalam kurun waktu 48 jam atau Judy akan dianggap gagal dan dipecat.

Bagaimana Judy memulai menangani kasus yang didapatkannya dengan informasi yang sangat minim? Berhasilkah ia memecahkan kasus tersebut dalam batas waktu yang ditentukan? Mengapa pada akhirnya ia bekerja sama dengan Nick si penipu? Begitu banyak hal-hal mengejutkan yang ditemui Judy.

Walaupun dengan kemasan animasi, Zootopia menawarkan sebuah cerita yang berkualitas. Alur ceritanya tak tertebak dan mengecoh, dibumbui dengan jokes yang tepat pada waktunya. Banyak pesan moral yang bisa dipetik dari cerita ini. Karakter-karakter hewan di dalam film ini secara tersirat mewakili watak manusia. Ada satu-dua sindiran halus terhadap fenomena yang umum terjadi di lingkungan sosial. Zootopia cocok ditonton bersama keluarga, dan aman untuk dipertontonkan kepada anak-anak.

****

Genre: Animation, Action, Comedy
Director: Byron Howard, Rich Moore, Jared Bush
Production Company: Walt Disney
Released: February 17th 2016

Wednesday, May 25, 2016

Resensi Buku: Cerpen Pilihan Kompas 2014

Judul: Cerpen Pilihan Kompas 2014
Penulis: Penulis Terpilih Kompas 2014
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Tahun Terbit: 2015
Dimensi: xvi + 200 halaman, 21 cm
ISBN: 978-979-709-949-7



Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon adalah judul cerpen yang terpilih untuk mewakili Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 bersama 23 cerpen terpilih lainnya yang juga dimuat dalam kumpulan ini. Cerpen yang dipilih para juri ini adalah karya Faisal Oddang, seorang pengarang muda dari Makassar yang aktif menjadi penggerak komunitas penulis Lego-Lego dan Malam Puisi Makassar. Suatu hal yang membanggakan karena Faisal bersanding dengan penulis-penulis senior lainnya, di antaranya Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, dan nama lainnya yang telah akrab di dunia kepenulisan.

Hampir semua cerpen yang ada dalam antologi ini dapat dijadikan favorit, menciptakan dialog sendiri di kepala, dan ada pula yang membuat hati tergetar saat membaca kemudian tercenung untuk beberapa saat.

Lagi-lagi mengusung tema cinta, Joyeux Anniversaire (Selamat Ulang Tahun) karya Tenni Purwanti begitu menggetarkan. Cerpen Tenni menunjukkan efek destruktif dari cinta, namun tetap saja indah dan tak dapat dielak.

Jalan Sunyi Kota Mati (Radhar Panca Dahana) dan Matinya Seorang Demonstran (Agus Noor) membuat gemas dengan caranya masing-masing mengolah fenomena terkait opini publik.

Menunda-nunda Mati (Gde Aryantha Soethama), Bulu Bariyaban (Zaidinoor), Bukit Cahaya (Yanusa Nugroho) dan Beras Genggam (Gus TF Sakai) mengajak kita 'berwisata' ke dalam nuansa budaya yang berbeda-beda, lengkap dengan petuah, pesan alam dan kisah magisnya.

Kaing-kaing Anjing Terlilit Jaring (Parakitri T. Simbolon) dan Jalan Asu (Joko Pinurbo) mengajak kita berpikir dan merenung. Sesungguhnya setiap hal sederhana yang terjadi, cepat atau lambat, dapat kita petik maknanya untuk melengkapi kearifan hidup.

Kerinduan kepada Sapardi Djoko Damono dijawabnya dengan Lima Cerpen super singkat dan segar, yang menceritakan kematian secara terang dan tersirat.

Sejak pemilihan diselenggarakan tahun 1992, 24 cerpen adalah jumlah terbanyak yang pernah dimuat dalam sebuah buku antologi Cerpen Pilihan Kompas. Mengutip pernyataan Putu Fajar Arcana, "Cerpen-cerpen dalam buku ini mewakili tiga generasi cerpenis Indonesia. Dari mereka kita bisa merunut pertumbuhan cerpen-cerpen Indonesia setidaknya dalam empat dekade terakhir. Kita juga bisa melacak jejak-jejak sosial dan kultural, yang begitu terasa dalam karya-karya mereka."

****

Saturday, May 21, 2016

Resensi Buku: Protokol Hujan

Judul: Protokol Hujan
Penulis: Arco Transep
Penerbit: Indie Book Corner
Tahun Terbit: 2016
Genre: Kumpulan Puisi
Dimensi: 100 halaman, 19,5 cm
ISBN: 968-602-3091-41-3






Setelah bertahun-tahun menggeluti dunia kepenulisan, akhirnya Arco Transep hadir dengan kumpulan puisi pertamanya, Protokol Hujan. Protokol hujan adalah kumpulan puisi Arco dalam rentang waktu 2009 hingga 2015, setelah sebelumnya banyak karyanya yang dimuat berbagai media cetak secara terpisah.

Arco adalah orang yang peka dan berhasil menggambarkan segala rasanya melalui kata. Arco cerdas memilih kata, sederhana dan mengena. Seperti teriakan hati yang secara teratur keluar satu per satu minta dibaca, dan ya, terbaca. Sangat jelas. Puisi-puisi Arco menggambarkan perpisahan, kenangan, kehilangan, dan kepulangan. Saat membaca puisi-puisi Arco, saya kadang terhenti dan membaca ulang lagi dari awal karena ingin meresapi perasaan yang tiba-tiba datang di tengah maupun akhir puisinya.


Suatu hari aku ingin pergi ke gunung-gunung yang pasrah menerima lelah.
Mungkin ke hutan-hutan yang membuat tenang.
Atau mungkin ke pantai-pantai yang tak menolak dideru air-air asin yang dibawa lautan.

Suatu hari aku ingin pergi, tanpa meninggalkan jejak raut di ingatanmu.
Mungkin air mata yang membuatmu menyesali kehilangan kehilangan berkali-kali.
Atau mungkin diam-diam beranjak sebelum kau berharap pagi dan aku tetap di sampingmu.

Suatu hari aku ingin kita pergi tanpa sepatah kata, tanpa puisi yang akan kau baca saat sunyi, juga tanpa nyeri yang membuat matamu perih dan masuk angin.
Sebab, suatu hari kita akan berpapasan dan takkan saling mengenali.

Jejak Kepulangan - Arco Transep

Endorsement:
Dalam puisi-puisi di buku ini, kita bisa melihat Arco seolah selalu sensitif dengan segala hal. Apa yang ia lihat, ia rasakan, semuanya ia jahit dalam kata-katanya. Arco seolah memiliki indra yang peka. Ia merasakan desir angin, membaca berita cuaca, memendam dan menyatukannya dengan apa yang ia rasakan, lalu menulisnya dengan hati-hati sebagai puisi. Kalimat-kalimatnya sederhana dan lugas, ia tak kewalahan dengan beban bahasa. Rasanya semua bekal sensitifitas itu sudah cukup sebaga bekalnya berjalan di jalan kepenyairan.
~ Irwan Bajang, Penulis Buku Puisi Kepulangan Kelima.

Puisi selalu dibentuk dari perhatian. Dan perhatian memerlukan kepekaan yang cukup untuk dapat melihat kebanyakan yang luput dilihat. Kepekaan itu pun harus dibarengi dengan keterampilan bahasa yang butuh terus diasah, bak sebuah pisau, lebih tajam lebih dapat menusuk hingga ke dalam. Harko memiliki kepekaan itu dan dalam kumpulan puisi ini, kita dapat melihat cara Harko mengasah pisaunya.
~ Pringadi Abdi Surya, Penyair dan Penulis Novel 4 Musim Cinta.

Seperti memaknai tujuan perjalanan, membaca "Protokol Hujan", ada yang menancapkan mantra dalam-dalam ke liang ingatan; bahwa kilometer adalah nol, namun seakan ada pula yang mengulurkan tangan, hendak mengajak kembali bertamasya ke masa lampau. Harko Transep tahu betul cara menuliskan jejak hati di setiap halaman bukunya. Selamat merayakan kepulangan, kumpulan puisi yang menyenangkan!
~ Delbin Clyte, Novelis dan Penulis Skenario.

Ada puisi yang lancar dituliskan, namun ada juga pengalaman batin yang sukar diungkapkan. Demikianlah penyair belajar dan terus belajar untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Hingga puisi sampai kepadamu.
~ Nanang Suryadi, Penyair dan Dosen Universitas Brawijaya.

***

Setelah pertama kalinya launching di Jogja bersama Indie Book Corner dalam "Bincang Buku & Baca Puisi Protokol Hujan" pada 6 Mei lalu, kini giliran Palembang yang akan menyambut dalam "Malam Puisi Protokol Hujan". Malam ini.


Malam Puisi Palembang ke-31 akan hadir

.
"PROTOKOL HUJAN"

Peluncuran, Pembacaan dan Bedah buku puisi milik Arco Transept

Sabtu, 21 Mei 2016
19.00
Di Gowes Chat And Fun


Datang, Dengar dan Bacakan Puisimu!
Sampai bertemu.




Friday, May 20, 2016

Resensi Buku: Filosofi Kopi

Judul: Filosofi Kopi
Penulis: Dee Lestari
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2012
Genre: Kumpulan Cerita
Dimensi: xiv + 142 halaman, 20 cm
ISBN: 978-602-8811-61-3



Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade yang terangkum dalam Filosofi Kopi merupakan kompilasi karya Dewi (Dee) Lestari selama 1995 -  2005. Buku ini merupakan salah satu masterpiece dalam kesusastraan Indonesia dan telah mengalami tujuh belas kali cetakan hingga Januari 2016.

Filosofi Kopi, cerita pendek yang menjadi pembuka sekaligus menjadi judul kompilasi ini menceritakan tentang seorang yang tergila-gila kepada kopi: Ben. Ben telah berkeliling dunia demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri, juga mencari takaran paling pas untuk racikan setiap jenis kopi. Dia tidak hanya meramu dan mengecap rasa kopi, akan tetapi juga merenungkannya. Ia menarik arti, membuat analogi, hingga tercipta satu filosofi untuk setiap jenis kopi. Semuanya ia presentasikan semenarik mungkin di dalam daftar menu kafenya; Filosofi Kopi.

Pada suatu hari, Ben ditantang oleh seorang pengunjung Filosofi Kopi yang merasa tidak menemukan kopi yang ia inginkan di dalam daftar menu. Apakah Ben berhasil menjawab tantangan tersebut? Dan bagaimana Ben menanggapi seseorang yang mencicipi kopinya dan hanya menilai kopinya 'lumayan' bukannya 'luar biasa' padahal ia sudah sedemikian rupa menakar dan meracik kopinya?

"Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya."


Pencarian Ben menemukan kesempurnaan yang akhirnya dijawab dengan kesederhanaan memutarbalikkan dunia Ben yang penuh dengan obsesi akan kopi.

Tujuh belas cerpen dan prosa lain di dalam buku ini tidak kalah menariknya. Menyentuh pembaca di momen yang tepat dan membuat tersenyum dan terpesona pada kata-kata yang dengan cerdas berada pada tempatnya. Dee menyajikan tulisan cerkas bagi pembaca. Penyajiannya lugas, tegas, tidak ruwet dan tidak mendayu-dayu.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.

Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.

Spasi - Dee Lestari

****

Thursday, May 19, 2016

Resensi Buku: Warna Air

Judul: Warna Air (2)
Penulis: Kim Dong Hwa
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2010
Genre: Novel Grafis Dewasa
Dimensi: 320 halaman, 24 cm
ISBN: 978-979-22-5988-9



Warna Air adalah buku kedua dari Trilogi Warna (The Color Trilogy), set novel grafis goresan Kim Dong Hwa. Novel yang memiliki judul asli The Story Of Life On The Golden Fields Vol. 2 ini pertama terbit di Korea tahun 2003.


"Pastikan waktu berjalan kau menundukkan kepala, dan berjalanlah dengan ringan dan lembut sambil memandang sepatumu. Kalau kau ingin mendongak, angkat saja matamu tapi jangan kepalamu. Seorang wanita tampak sangat cantik dalam postur tersebut."

Warna Air bercerita tentang seorang gadis bernama Ehwa yang mulai beranjak dewasa. Ehwa mulai mengenal rasa cinta dengan pemahaman yang lebih dalam, bukan lagi sekedar cinta monyet yang sebelum-sebelumnya telah dirasakan oleh Ehwa.
Ehwa berkenalan dengan Duksam, pemuda dari desa sebelah yang saat festival memenangkan pertandingan gulat. Duksam adalah seorang pemuda yang sangat berterus terang, dia terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya kepada Ehwa. Ehwa menanggapinya dengan baik, dengan masih tetap menjaga batas-batas seorang wanita.

Perasaan saling menyukai antar mereka membuat kepercayaan diri Ehwa bermekaran. Ehwa mulai mengerti perasaan Ibunya yang terkadang duduk memandang ke pintu gerbang seolah-olah mencari langkah seseorang, yang tanpa sadar juga dilakukannya saat merindukan Duksam.

Ehwa yang tinggal berdua saja dengan ibunya dan terbiasa berbagi segala cerita kali ini mulai sedikit berahasia. Ibu Ehwa tahu bahwa sudah saatnya ia memberikan pesan dan nasihat yang cukup sebagai bekal bagi anak gadisnya yang beranjak dewasa.

"Tidak semua bunga sama.
Ada bunga-bunga tidak sabaran yang mekar pada bulan Maret,
Dan ada yang mekar pada bulan April hanya setelah mereka memperhatikan bunga-bunga lain mekar lebih dulu.
Akhirnya, ada bunga-bunga yang mekar pada waktu yang tepat di bulan Mei.
Bunga-bunga terakhir ini warnanya paling memukau, dan bentuk mereka indah serta bersih,
Mirip mempelai wanita.

Tidak seperti bunga, manusia menilai tinggi diri mereka dan menghabiskan waktu dengan meributkan siapa yang lebih dulu. Mereka berusaha keras menjadi yang pertama mekar, meskipun mereka belum siap."

Perbincangan antara Ehwa dan ibunya adalah bagian terbaik di dalam buku ini. Tentang bagaimana merekah mendewasanya seorang wanita, hingga petuah untuk wanita yang diperistri dan hidup bersama keluarga suaminya.

Kim Dong Hwa menyajikan kisah memikat tentang kedekatan seorang anak perempuan dan ibunya dengan gaya bercerita yang puitis. Kata-kata puitisnya dapat menjadi inspirasi dalam proses kreatif menulis. Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya merupakan mutiara kehidupan dari ibundanya saat berusia enam belas tahun. Dari buku ini dapat dipetik banyak pesan tentang bagaimana seorang wanita bersikap menghadapi kehidupan.

Cerita cinta dan kehidupan ini juga dilengkapi dengan latar belakang alam pedesaan Korea yang dilukiskan dengan indah serta terselip juga tips kecantikan tradisional Korea.

Saya tertarik untuk melengkapi Trilogi Warna ini dengan Warna Tanah (1) dan Warna Langit (3).


***

Tuesday, May 17, 2016

Resensi Buku: Cemburu Itu Peluru

Judul: Cemburu Itu Peluru
Penulis: Andy Tantono, Erdian Aji, Kika Dhersy Putri, Novita Poerwanto, Oddie Frente
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Dimensi: 160 halaman, 20 cm
ISBN: 978-979-22-6868-3


Cemburu Itu Peluru berisi 97 flash fictions dari lima penulis yang memiliki karakter penulisan berbeda-beda. Flash fictions atau cerita-cerita super pendek ini benihnya berasal dari gagasan-gagasan sepanjang 140 karakter di media sosial twitter yang diwadahi oleh komunitas Fiksi Mini. Buku ini dilengkapi dengan DVD yang berisi 9 film pendek (Film Mini) yang juga dikembangkan dari Fiksi Mini. 

Erdian Aji dominan bereksperimen dengan tipografi. Kreatifitasnya dalam mengolah susunan kata, membuat pembaca merasa harus mengulang baca dari awal karena maksud dari tulisan-tulisannya kebanyakan baru ketahuan pada akhir cerita. Pengakuan Seorang Pengecut dikemas dengan sangat brilian dan, ya, membuat saya tersenyum-senyum saat berulangkali membacanya. Juga, saya cukup tergugah saat membaca Inikah yang Namanya Cinta?

Yang paling saya sukai, tulisan-tulisan Oddie Frente, bercerita tentang realita dan kehidupan sosial, satu-dua diselingi oleh cerita imajinatif. Penuturannya dalam cerita sangat apik, begitu mengalir dan membuat pembaca menikmati seluruh alur. Dim Sum Singkong Rebus, Dua Stoples yang Saling Cemburu, dan Lelaki yang Memanggilku Papa adalah cerita-cerita favorit saya.

Tulisan-tulisan Andy Tantono, Kika Dhersy Putri, dan Novita Poerwanto merupakan pelangi yang mengajak kita ke dunia imajinasi paling terang hingga yang paling kelam. Mulai dari hal-hal logis, hingga hal-hal yang mengusik logika. Anemia, Sundae, Pak Nugroho, dan Sehari Saja adalah cerita-cerita yang menarik perhatian saya.

Sedikit kritik, pada beberapa cerita, twist yang diberikan sebagai kejutan bagi pembaca disajikan dengan tema yang sama, yaitu darah, kematian, dan kriminalitas. Ada twist yang pas porsinya dengan alur, namun juga ada yang terasa diakhiri paksa mungkin karena ceritanya di-set super pendek -- yang harus segera disudahi sebelum pembaca sempat menebak-nebak.

Namun secara keseluruhan dapat dikatakan buku ini cocok untuk pembaca yang mencari kejutan-kejutan imajinasi dalam bacaannya.
**

Thursday, May 12, 2016

Resensi Film: Delivery Man

Bagaimana rasanya menjadi ayah biologis bagi ratusan anak? Hal itulah yang dirasakan oleh David Wozniak, seorang supir truk daging yang sedang terlilit utang dalam jumlah cukup besar dan pontang panting mencari uang untuk melunasinya.



Di saat ia sedang bergembira setelah mendapat kabar bahwa kekasihnya Emma sedang mengandung anaknya, di saat itu pula ia mendapat kejutan bahwa ia sedang dicari oleh ratusan anaknya. Hey, apa maksudnya ini? Kenapa hal ini bisa terjadi?

Brett, sahabat David, bersedia menjadi pengacara untuk kasus yang sedang dihadapinya. Dari Brett, David mendapatkan profil anak-anak yang sedang mencarinya.

Apa yang akan dilakukan oleh David dengan profil-profil yang didapatkannya tersebut? Apakah ia berusaha bersembunyi atau malah menemui mereka semua? Apa yang akan diusahakan David untuk melunasi utangnya yang kian lama kian membengkak? Bagaimana hubungan David dengan Emma dan calon bayinya?

Semuanya dikemas dalam sebuah cerita yang apik dan berhasil menyajikan konflik tanpa harus menghadirkan pemeran antagonis. Alurnya tersusun dengan rapi dan mengalir, dan kita dapat ikut merasakan pergolakan batin yang dialami oleh David.

Kita diajarkan untuk berani mengambil keputusan dengan mendengarkan hati nurani dan memegang teguh keputusan yang telah diambil.

Percayalah bahwa hadiah terbesar yang diberikan kepada seseorang adalah dengan memberikannya kebahagiaan di saat yang tepat, sekecil apapun itu.

Starring: Vince Vaughn, Chris Pratt, Cobie Smulders
Genre: Drama Comedy
Director: Ken Scott
Production Company: DreamWorks, Reliance Entertainment, Touchstone Pictures
Released: 2013

Resensi Film: Daddy's Home

Daddy's Home bercerita tentang Brad Whitaker, seorang eksekutif sukses dan santun yang menikah dengan Sara, seorang wanita cantik yang memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya; Dylan dan Megan. Praktisnya, Brad adalah ayah tiri dari Dylan dan Megan.



Brad sepenuh hati berusaha menjadi ayah tiri yang baik bagi Dylan dan Megan. Meskipun pada awalnya mengalami banyak penolakan, usaha Brad yang tanpa henti ternyata membuahkan hasil; ia sedikit demi sedikit mulai mendapatkan perhatian anak-anaknya. Namun hal menyenangkan itu tidak berlangsung lama karena Dusty Mayron, mantan suami Sara, kembali dan berencana tinggal bersama mereka.


Hari-hari berikutnya menjadi arena persaingan bagi Brad dan Dusty. Brad berusaha menunjukkan bahwa dirinya adalah yang terbaik malah terlihat konyol, serta Dusty yang berusaha mendapatkan kembali posisinya di keluarga malah memancing hal-hal kocak.

Sepanjang ceritanya, film ini mengajak kita tertawa, kemudian sedikit kesal, hingga membuat kita geleng-geleng kepala dan tertawa kesal. Film ini cocok ditonton untuk refreshing. Keseluruhan film cukup baik, dan membuat perasaan senang setelah menontonnya.

Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari film ini, salah satunya:
"Cobalah bersahabat dengan sesuatu yang tidak kita sukai, maka keadaan yang kita rasa buruk dengan sendirinya akan membaik."


Starring: Will Ferrel, Mark Wahlberg, Linda Cardellini, Scarlett Estevez, Owen Vaccaro
Genre: Drama Comedy
Director: Sean Anders
Production Company: Paramount Pictures, Red Granite Pictures, Gary Sanchez Productions
Released: December 2015

Thursday, April 21, 2016

Generasi Kelahiran 1970-1990an

Kami adalah generasi terakhir yang masih bermain di halaman rumah yang luas. Kami berlari dan bersembunyi penuh canda tawa dan persahabatan. Main petak umpet, boy-boyan, gobag sodor, lompat tali, masak-masakan, sobyong, jamuran, putri-putri melati, dan meriam tomong tanpa peringatan dari ayah ibu. Kami bisa memanfaatkan gelang karet, isi sawo, kulit jeruk, baterai bekas, dan busi bekas menjadi permainan yang mengasyikkan. Kami yang tiap melihat pesawat terbang langsung teriak minta uang.



Kami generasi yang mengantri di wartel dari jam lima pagi, berkirim surat dengan sahabat pena dan menanti surat balasan penuh rasa rindu. Tiap sore kami menunggu cerita radio Brama Kumbara, berkirim salam lewat penyiar radio. Semasa sekolah kami belajar memakai papan tulis berwarna hitam dan kapur putih, masih pakai pensil dan rautan dengan kaca di sebelah sisinya. Generasi yang meja sekolahnya penuh coretan kejujuran memakai Tipe-X putih, mencuri pandang teman sekolah yang ditaksir dan mengirim salam lewat sahabatnya, bahkan menyelipkan surat cinta di laci mejanya. Mengenal cinta penuh kepolosan.

Kami adalah generasi yang merasakan awal mula gadget komunikasi seperti pager, komputer Pentium jangkrik 486 dan betapa canggihnya Pentium 1.66Mhz. Kami sangat bangga kalau memegang disket kapasitas 1.44Mb dan paham sedikit perintah Dos dengan mengetik copy, del, md, dir/w/p. Kami memakai MIRC untuk chatting, dan memakai Yahoo untuk searching. Kami mengenal Nintendo dan gamebot tanpa warna.

Generasi kamilah yang merekam lagu dari siaran radio ke pita kaset tape, yang menulis lirik dengan cara play-pause-rewind, dan memanfaatkan pensil untuk menggulung pita kaset yang macet. Kirim-kirim salam kepada teman lewat siaran radio, saling sindir, dan bla bla bla. Penikmat awal Walkman dan mengenal apa itu Laserdisc serta VHS. Kamilah generasi layar tancap misbar yang merupakan cikal bakal bioskop Twenty One.

Kami tumbuh di antara para legenda cinta seperti Kla Project, Dewa 19, Padi. Masih tak malu menyanyikan lagu Sheila On 7, dan selalu tanpa sadar ikut bersenandung ketika mendengar lagu: mungkin aku bukan pujangga, yang pandai merangkai kata.

Kami generasi bersepatu Warior dan rela nyeker berangkat sekolah tanpa sepatu kalau sedang hujan. Cupu tapi bukan madesu.

Kami adalah generasi yang bebas. Punya sepeda dan menyewakannya 200 rupiah/jam. Bebas dari sakit leher karena kebanyakan melihat ponsel. Bebas manjat tembok stadion. Bebas mandi di kali, di sungai dan di pantai, bebas memanggil teman sekolah dengan nama bapaknya. Bebas namun bertanggung jawab.

Sebagai anak bangsa Indonesia, kami hafal Pancasila, nyanyian Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, teks Proklamasi, teks Sumpah Pemuda, nama-nama para Menteri Kabinet Pembangunan IV dan Dasadharma Pramuka serta nama-nama dan jumlah seluruh propinsi di Indonesia.

Kini, disaat kalian sedang sibuk-sibuknya belajar dengan kurikulum yang njelimet, kami sedang asik-asiknya mengatur waktu untuk selalu bisa kumpul dan reuni. Betapa bahagianya generasi kami.

Maaf adik-adik, di tengah tuntutan perkembangan jaman, kalian harus belajar keras untuk mendapatkan kebahagian dengan cara kalian sendiri.

Salam sayang dari kami,
Generasi kelahiran 1970-1990an.



Sumber:
Catatan Ringan
Djaman Doeloe

Sunday, March 6, 2016

Resep Pie Susu Khas Bali

Yup, lagi-lagi surfing di Facebook dan menemukan info yang sepertinya harus di-'bookmark'.

PIE SUSU KHAS BALI
(Masak di teflon, dan tidak butuh mixer)

Bahan kulit pie:
150gr tepung terigu
100gr mentega
1butir telur utuh

Bahan topping pie:
3butir kuning telur dikocok lepas
1 sdm tepung maizena, larutkan di dalam 100 ml air dingin
2-3 sachet susu kental manis


Aduk mentega dan tepung di atas teflon sampai rata
(api belum dinyalakan)

 Setelah tercampur, tambahkan 1 butir telur.
Aduk sampai tidak lengket dan semua adonan menyatu.

Ratakan di atas teflon.
Buat adonan menjadi tipis, jangan terlalu tebal.

Campur kuning telur, maizena, dan susu kental manis.
Aduk rata.

Tuangkan campuran topping ke adonan kulit.
Masak di atas api kecil dengan teflon tertutup
(lebih kurang 30 menit atau hingga kulit kecoklatan, mengeras dan topping mengeras).

Sipp, pie susu siap disantap.



Catatan:
Kulit pie susunya jangan terlalu tebal. Yang sedang-sedang saja #kemudiandangdutan.


Sumber:
Album Najiyah Ardie

Tips Berpose Dalam Foto

Saat surfing di Facebook, saya tertumbuk pada satu album yang di-share oleh Elia Ko tentang tips berpose dalam foto. Sayang untuk dilewatkan begitu saja, saya juga ingin menyimpannya di sini ;)


1. DAGU.
    Atur ekspresi dan posisi dagu.
    Untuk menghindari leher terlihat berlipat, tarik dagu sedikit ke depan.



2. WAJAH.
    Atur kemiringan wajah. Jangan terlalu lurus dan jangan terlalu miring.
    Usahakan pipi yang jauh dari kamera sedikit terlihat.


3. LENGAN.
    Agar lengan tidak terlihat lebar, jangan terlalu ditempelkan ke tubuh.
    Sedikit diangkat dari tubuh / dilonggarkan.

4. TUBUH.
    Agar tubuh tidak terlihat melebar, atur pose tubuh agak menyamping.

5. BAHU.
    Atur kemiringan bahu agar tubuh terlihat lebih ekspresif.

6. TANGAN.
    Posisi tangan di dekat wajah.

    Hati-hati untuk laki-laki, jangan sampai posisi tangan di dekat wajah terlihat feminim.

7. PINGGUL.
    Jangan dekatkan pinggul ke arah kamera, agar tidak terlihat terlalu besar.

8. DUDUK.
    Untuk posisi duduk, diatur agak lebih ekspresif dak menarik.


9. MELIPAT TANGAN.
    Untuk pose melipat tangan, jangan menyembunyikan telapak tangan.

10. FOTO BERDUA.

11.Lebarkan sikut.

12. Tangan sedikit dikebelakangkan.

13. LIRIKAN.
      Ada saat di mana sebaiknya tidak usah melirik kamera, fokus melihat ke arah lain saja.

14. KURVA TUBUH.
      Atur posisi dan lekukan tubuh agar terlihat cukup ekspresif.








15. RILEKS DAN NATURAL.
      Berusaha serileks dan sesantai mungkin agar terlihat natural.



16. EKSPERIMEN
      Tetap coba apapun eksperimen pose yang membuat percaya diri.


17. BANDINGKAN.
      Inilah magic dan kekuatan pose. Bandingkan dengan yang biasa.




Dari:
Berbagai sumber (tercantum)